Ada seorang pengusaha yang datang ke sebuah pesantren yatim-piatu dan meminta kepada pimpinan pesantren untuk tolong didoakan agar bisa memenangkan tender proyek yang sedang diikutinya dan ia berjanji akan bersedekah ke pesantren itu apabila menang tender itu.
Menanggapi hal itu, pak Kyai pimpinan pesantren bertanya kepada pengusaha, apakah dia hafal bacaan surat Al-Fatihah dan meminta pengusaha itu untuk membacanya.

Ketika pengusaha mulai membaca surat Al-Fatihah dan sampai pada bacaan "Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'iin". Pak Kyai menstop bacaan, "Sudah-sudah cukup..., Berhenti sampai di situ!" pinta pak kyai. Si pengusaha pun menghentikan bacaan.
"Ayat yang terakhir anda baca itu mengerti tidak maksudnya?" tanya pak Kyai.
"Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'iin, pak Kyai?" tanya si pengusaha menegaskan.
"Ya, yang itu!" jawab kyai.
"Oh itu saya sudah tahu artinya, hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan." tandas si pengusaha.
Pak Kyai lalu berujar enteng, "Oh, rupanya masih sama Al-Fatihah anda dengan saya punya."
"Maksud pak kyai...?" tanya si pengusaha heran.
"Saya kira Al-Fatihah anda sudah terbalik menjadi iyyaka nasta'iin wa iyyaka na'budu." jawab pak Kyai.
Si pengusaha jadi bingung mendengar penjelasan pak Kyai, ia pun berkata, "Saya masih belum mengerti pak Kyai."
Pak Kyai tersenyum melihat kebingungan si pengusaha, beliau pun menjelaskan, "Tadi anda menyampaikan kalau menang tender maka anda akan sedekah ke pesantren ini. Menurut saya itu adalah 'iyyaka nasta'iin wa iyyaka na'budu'. Jika Al-Fatihah anda tidak terbalik, pasti anda sedekah dulu ke pesantren ini, Insya Allah pasti menang tender."
Deggg! Keras sekali sindiran menghujam jantung hati si pengusaha.

Pada esok harinya, pak Kyai menerima telpon dari pengusaha itu yang menyampaikan bahwa ia sudah mentransfer sedekahnya ke rekening pesantren. Setelah dicek oleh pak Kyai ternyata uang yang disedekahkan oleh pengusaha itu cukup besar yaitu Rp. 200 juta. Pak Kyai pun sangat bersyukur atas sedekah itu.
Setelah habis maghrib, pak kyai mengumpulkan seluruh ustadz dan santri di pesantren itu. Mereka membaca Al-Quran, dzikir & doa yang panjang untuk hajat yang ingin dicapai oleh si pengusaha.
Seminggu berselang si pengusaha menelpon pak kyai. Pengusaha itu menyampaikan terima kasih karena telah didoakan dan ia ternyata memang memenangkan tender dengan nilai Rp. 9,8 milyar.

Makna dari kisah sedekah pengusaha yang minta didoakan ini adalah tunjukkan dulu kepatuhan kita kepada Allah swt dan kemudian baru minta tolong kepada-Nya. Si pengusaha menunjukkan kepatuhannya kepada Allah swt dengan sedekah yang diberikannya dan ia kemudian minta tolong kepada Allah swt melalui doa-doa para ustadz dan santri di pesantren itu.

Kisah ini adalah cerita tentang seorang pengemis Yahudi yang buta di sudut pasar Madinah. Setiap ada orang yang mendekatinya ia selalu berkata: “Wahai saudaraku, jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir. Apabila kalian mendekatinya, maka kalian akan di pengaruhinya.”
Hampir setiap pagi, Nabi Muhammad saw mendatanginya dengan membawa makanan, dan tanpa berkata sepatah katapun Rasul pun menyuapi makanan yang dibawanya kepada pengemis itu walaupun pengemis itu selalu berpesan agar tidak mendekati orang yang bernama Muhammad.
Nabi Muhammad saw melakukan hal itu hingga beliau menjelang wafat. Setelah Nabi Muhammad saw wafat, tak ada lagi orang yang membawakan makanan setiap pagi dan yang menyuapi orang Yahudi yang buta itu.

Suatu hari Khalifah Abu Bakar berkunjung ke rumah anaknya (Aisyah). Beliau bertanya kepada Aisyah: “Anakku, adakah sunnah Rasul yang belum aku kerjakan?” . Aisyah menjawab pertanyaan ayahnya: “Wahai ayah, engkau adalah seorang ahli sunnah. Hampir tidak ada satu sunnah pun yang belum ayah lakukan kecuali satu sunnah“, ucap Aisyah.
“Apakah itu?” Tanya Abu Bakar. “Setiap pagi, Rasulullah selalu pergi ke sudut pasar dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang ada di sana“, jawab Aisyah.

Keesokan harinya, Khalifah Abu Bakar pun pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk diberikan kepada pengemis itu. Khalifah Abu Bakar mendatangi pengemis itu dan memberikan makanan itu kepadanya.
Ketika Khalifah Abu Bakar mulai menyuapinya, tiba-tiba pengemis itu marah sambil berteriak: “Siapa kamu…!!!” Khalifah Abu Bakar menjawab: “Aku orang yang biasa“. “Bukan…!!! Engkau bukan orang yang biasa mendatangiku.” sahut pengemis buta itu.
Lalu pengemis itu melanjutkan bicaranya: “Apabila ia datang kepadaku, tidak susah tangan ini memegang dan tidak susah mulut ini mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku, tapi terlebih dahulu dihaluskannya makanan itu, baru setelah itu ia berikan makanan itu kepadaku.”
Khalifah Abu yang mendengar jawaban orang buta itu kemudian menangis sambil berkata: “Aku memang bukan yang biasa datang kepadamu. Aku adalah salah seorang dari sahabatnya. Orang yang mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad, Rasulullah SAW.”

Pengemis itu pun menangis dan kemudian berkata “Benarkah demikian?”,tanya pengemis, kepalanya tertunduk dan air matanya mulai menetes. “Selama ini aku selalu menghinanya dan memfitnahnya”,lanjutnya. Tetapi ia tidak pernah marah kepadaku, sedikitpun!”,ucap sang pengemis Yahudi sambil menangis terisak. Setelah usai tangisnya, pengemis Yahudi buta yang selalu diberi makan oleh Nabi Muhammad saw itu meminta kepada Khalifah Abu Bakar untuk menuntunnya masuk Islam dan mengucapkan kalimat dua syahadat.
Bersedekah secara terang-terangan atau sembunyi sama-sama diperbolehkan dalam agama Islam. Allah telah memerintahkan dan memperbolehkan bersedekah baik itu secara terang-terangan atau pun dengan cara sembunyi-sembunyi seperti yang tercantum dalam Al-Quran surat An-Nahl ayat 75, dan surat Faathir ayat 29.

Nabi Muhammad saw telah memberikan contoh bahwa sedekah secara terang-terangan boleh dilakukan. Pada masa perang Tabuk, dibutuhkan bekal yang banyak untuk pasukan muslim. Nabi Muhammad saw mengumpulkan para sahabat dan bertanya siapa yang mau menyumbang atau bersedekah? Silahkan berdiri. Maka berdirilah Utsman Bin Affan, beliau menyatakan bersedekah 100 ekor unta dan kemudian ditambahnya lagi 200 ekor, sehingga jumlah yang disedekahkannya itu menjadi 300 ekor unta.

Contoh sedekah dengan cara sembunyi-sembunyi dilakukan oleh sayyidina Ali Zainal Abidin (cucu Nabi Muhammad saw). Beliau memberi sedekah kepada kaum fakir miskin kota Madinah. Cara yang beliau lakukan adalah dengan memberi bekal atau makanan pada malam hari dengan menutupi wajahnya sehingga orang yang diberi sedekah tidak tahu siapa orang yang memberinya. Hal ini baru diketahui ketika beliau meninggal, ketika saat jasadnya dimandikan ada bekas hitam di pundak beliau. Setelah ditanya-tanya kepada kerabat, akhirnya salah seorang pembantu beliau mengatakan bahwa itu adalah bekas memikul makanan yang beliau lakukan sendiri di malam hari mengantarkan makanan pada fakir miskin dan ia (pembantu tadi) pernah memergokinya satu kali kemudian menawarkan diri untuk memikul makanan itu tapi sayyidina Ali Zainal Abidin menolaknya.

Dengan dua contoh di atas, dapat dilihat bahwa sedekah boleh dilakukan terang-terangan dan boleh juga dilakukan secara sembunyi. Mana yang kita pilih itu tergantung kita sendiri yang menentukannya karena ketika sudah ikhlas dan sukarela, tentu tidak ada masalah terhadap kedua hal itu. Hanya saja, ketika bersedekah terang-terangan, bisakah kita meredam hati atau perasaan kita agar jangan sampai hal itu menjadi riya. :-)
Sedekah adalah berupa pemberian seorang muslim kepada orang lain secara sukarela dan ikhlas tanpa dibatasi oleh waktu atau jumlahnya. Jika ditinjau dari pemberian yang sukarela dan ikhlas, tentu yang melakukan tindakan itu berbuat atas kehendak sendiri dan tanpa mengharap balasan dari orang yang telah diberinya itu. Bila seseorang bersedekah dan kemudian dia menyebut-nyebutkan kepada yang lain bahwa ia telah bersedekah, tentu ini bisa dianggap tidak sukarela dan tidak ikhlas lagi. Karena jelas ia mengharapkan sesuatu ketika ia menyebut-nyebutkan sedekahnya itu, katakanlah sebuah pujian.

Allah telah berfirman dalam Al-Quran pada surat Al-Baqarah ayat 264 yang artinya, Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.

Ayat ini telah menyampaikan dengan jelas bahwa apabila seseorang bersedekah dan kemudian menyebut-nyebutnya, hal itu hampir bisa dikatakan perbuatan riya. Jadi sebaiknya jangan menyebut-nyebut sedekah yang telah diberikan.

Khalifah Abu Bakar dikenal sebagai seorang yang sangat dermawan, beliau sangat rajin bersedekah. Selagi ada yang bisa beliau sedekahkan, beliau melakukannya. Keikhlasan beliau dalam bersedekah tercermin pada apa yang beliau lakukan ketika membantu seorang wanita tua yang tinggal di padang pasir semasa itu.

Pada masa itu, setelah shalat subuh Khalifah Abu Bakar terbiasa pergi ke padang pasir dan kemudian kembali lagi. Tak ada seorang pun yang tahu, apa gerangan yang dilakukan Khalifah Abu Bakar di padang pasir itu. Karena penasaran, akhirnya Umar Bin Khatab membuntuti beliau.
Ternyata yang dikunjungi Abu Bakar adalah sebuah tenda kumuh yang berada di tengah padang pasir. Umar Bin Khatab bersembunyi di balik batu besar dan tak lama kemudian Abu Bakar keluar dari tenda tersebut.
Tak lama kemudian Umar Bin Khatab pun masuk ke dalam tenda tersebut. Ternyata di dalam tenda itu ada seorang wanita tua dan buta dan seorang bayi kecil.
Umar Bin Khatab bertanya,"Siapa yang datang pada kalian tadi?"
Wanita itu menjawab, "Aku tidak tahu. Yang jelas dia seorang muslim. Setiap pagi ia datang kemari."
"Apa yang ia perbuat?" tanya Umar Bin Khatab
"Ia menyapu rumah kami, mencampur adonan kami, memeras susu ternak kami, lalu pulang." jawab wanita itu.

Sambil keluar Umar Bin Khatab berkata, "Engkau membuat lelah penggantimu, wahai Abu Bakar. Engkau membuat lelah para penggantimu, wahai Abu Bakar."
Dari kisah itu terlihat bagaimana cara yang dilakukan Khalifah Abu Bakar menolong seseorang. Bagi beliau, tak perlu seorangpun mengetahui tentang apa yang dilakukannya bahkan yang ditolongnya pun tak tahu siapa beliau. Artinya beliau sengaja menyembunyikan sedekah tenaga yang beliau lakukan pada seorang wanita tua dan buta itu.

Dalam agama Islam yang dimaksud dengan Iman adalah pembenaran atau percaya. Adakalanya seseorang bertanya-tanya atau timbul keraguan atas apa yang telah ia percayai itu. Contoh, ketika sahabat Nabi Muhammad saw pernah bertanya kepada Nabi, "Wahai Nabi, ada ganjalan di dalam jiwa saya. Lebih baik rasanya terjerumus ke jurang yang dalam daripada mengucapkannya". Nabi pun bersabda, "Apakah kalian telah merasakan itu?" "Kami merasakannya," jawab para sahabat. "Alhamdulillah, itulah iman," jawab Nabi Muhammad saw. Iman yang dimaksud ini tentu pembenaran yang menyangkut tentang apa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw, yang pokok-pokoknya terlihat dalam rukun iman.

Masing-masing orang mempunyai tingkatan keimanan yang berbeda. Iman seseorang pun bahkan bisa berbeda pada satu saat dibanding dengan saat lainnya. Artinya iman itu bisa bertambah dan bisa berkurang. Pada tahap awal, pada orang yang katanya beriman, akan timbul berbagai pertanyaan dalam dirinya tentang objek-objek keimanannya itu. Hal itu wajar, bahkan dalam Al-Quran pada surat Al-Baqarah ayat 260 diungkapkan dimana Nabi Ibrahim as masih juga bertanya kepada Allah saw tentang hari kiamat.

Jadi iman itu hanya bisa dirasakan bagi orang yang menyatakan dirinya beriman. Dan orang beriman wajib untuk memupuk atau menjaga keimanannya dengan cara membaca tentang agama, bertanya pada ulama atau banyak beribadah, sehingga tak ada lagi keraguan dalam hatinya terhadap apa yang diimankan itu.

Dalam kehidupan sehari-hari sering didengar ucapan "Sabar itu ada batasnya". Memang benar, tapi sampai dimana batas kesabaran itu? Apa acuan batas kesabaran seseorang sehingga dia tidak sabar lagi? Memang pada dasarnya manusia adalah makhluk yang terbatas dalam segala sifatnya. Tingkat kesabaran masing-masing orang berbeda-beda. Ada yang besar atau panjang masa sabarnya dan ada pula yang singkat, sebentar saja dia sudah tak sabar lagi.

Apa sabar itu ada batasnya? Sebelum menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kita mengingat kisah Nabi Ayyub. Beliau adalah seorang nabi kaya raya yang baik hati dan kemudian menjadi jatuh miskin (sangat miskin). Nabi Ayyub diuji kesabarannya dalam menhadapi cobaan mulai dari kehilangan harta kekayaan, anak bahkan penyakit yang dideritanya sendiri. Namun beliau tetap sabar menghadapi cobaan tersebut.

Dari kisah di atas dapat kita lihat bahwa begitu besarnya tingkat kesabaran Nabi Ayyub. Kenapa beliau bisa menerima keadaan yang menimpa beliau itu? Itu karena ketakwaannya terhadap Allah. Jadi apabila ditanya "apakah sabar itu ada batasnya?" jawabannya adalah seberapa tingkat keimanan atau ketakwaan seseorang kepada Allah. Semakin bertakwa seseorang, semakin besar dan semakin panjang pula kesabarannya sehingga dapat dikatakan mencapai tingkat kesabaran yang tidak terbatas. Hal ini juga menunjukkan bahwa ia percaya pada qadar baik dan qadar buruk yang merupakan rukun iman yang keenam.

Kisah ini adalah tentang seseorang yang mendapat imbalan untuk pergi naik haji karena ikhlas bersedekah. Ada seorang pedagang gorengan yang selalu menyisakan buntut singkong goreng yang tidak terjual kepada seorang anak kecil yang selalu bermain di tempat mangkalnya.

Tanpa terasa, sudah lebih dari 20 tahun dia menjalankan usahanya sebagai tukang gorengan tanpa ada perubahan yang berarti.
Pada suatu hari datang seorang pria dengan mobil mewah menghampiri gerobak gorengannya. Pria itu bertanya, "Ada gorengan buntut singkong, pak?"
Si tukang goreng menjawab, "Gak ada, mas".
"Saya kangen sama buntut singkongnya, pak. Dulu waktu kecil, ketika ayah saya baru meninggal, tidak ada yang membiayai hidup saya. Teman-teman mengejek saya karena tidak bisa membeli jajanan. Tapi waktu itu bapak selalu memberi buntut singkong goreng setiap saya bermain di dekat gerobak bapak" kata pria itu.
Tukang gorengan terperangah. "Yang saya berikan dulu itu hanya buntut singkong. Kenapa kamu masih ingat saya?"
"Bapak bukan sekedar memberi buntut singkong, tapi juga memberi sebuah kebahagian dan harapan bagi saya. Saya tidak mungkin bisa membalas kebaikan budi bapak. Tapi, saya ingin memberangkatkan bapak untuk naik haji ke tanah suci. Semoga bapak bahagia." lanjut pria itu.
Si tukang goreng hampir tidak percaya karena hanya sebuah kebaikan / sedekah kecil tapi mendatangkan berkah yang begitu besar baginya.

Kisah ini memperlihatkan sebuah contoh kecil dimana apabila seseorang melakukan sedekah atau kebaikan dengan ikhlas walau hanya kecil atau apapun bentuknya maka ia akan mendapat imbalan yang sama sekali tak diduga. Renungkan, hanya karena memberi sebuah kebahagian pada seorang anak kecil dengan memberinya buntut singkong goreng, si tukang gorengan ini bisa naik haji. Semoga kita juga bisa ikhlas dalam bersedekah...

Keberadaan Al-Quran yang merupakan kitab pedoman hidup umat muslim saat ini mempunyai sejarah yang patut juga untuk diketahui. Al-Quran mulai dibukukan pada zaman khalifah, bukan pada masa Nabi Muhammad mengajarkan Islam. Di dalam Al-Quran terdapat ayat-ayat yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad. Nabi Muhammad dalam hal menerima wahyu mengalami berbagai macam cara dan keadaan. Pada masa itu belum ada kertas seperti saat ini, orang menggunakan kulit binatang, batu yang tipis, pelepah kurma dan tulang binatang untuk ditulis dan menghafal sesuatu untuk selalu bisa diingat. Bangsa Arab mempunyai daya ingat yang sangat kuat.

Seiring dengan berjalan waktu Al-Quran mulai ditulis pada zaman Nabi Muhammad namun belum dibukukan. Selain menyuruh banyak orang untuk menghafal Al-Quran, Nabi juga menyuruh untuk menulisnya. Penulis-penulis beliau yang terkenal adalah; Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Ubay bin Ka'ab, Zaid bin Tsabit dan Mu'awiyyah.

Abu Bakar menjadi khalifah pertama setelah nabi Muhammad wafat. Pada masa pemerintahannya banyak terjadi peperangan sehingga banyak para penghafal Al-Quran yang meninggal. Umar bin Kahtab khawatir akan hal itu dan menyarankan khalifah Abu Bakar untuk mengumpulkan ayat-ayat Al-Quran. Khalifah Abu Bakar meminta Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan ayat-ayat Al-Quran yang ditulis di daun, pelepah kurma, batu, tulang binatang, tanah keras dan dari penghafal-penghafal Al-Quran. Kemudian Zaid bin Tsabit mulai menulis dalam lembaran-lembaran dan diikat dengan benar, tersusun menurut urutan ayat-ayatnya sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Rasulullah.
Mushhaf ini disimpankan oleh Abu Bakar dan dipindahkan ke rumah Umar Bin Khattab. Sesudah khalifah Umar bin Khattab meninggal, Mushhaf itu dipindahkan ke rumah Hafsah, putri Umar, istri Rasulullah.

Khalifah Utsman bin Affan meneruskan pemerintahan Umar bin Khattab dan ajaran Islam telah mulai meluas ke Mesir, Syria, Irak, Persia dan Afrika. Pada masa itu ada Huzaifah bin Yaman, ketika ikut dalam pertempuran di Armenia, beliau mendengar ucapan seorang muslim kepada temannya: "Bacaan saya lebih baik dari bacaanmu". Beliau pun melaporkannya kepada khalifah Utsman dan kemudian khalifah Utsman bin Affan meminta kepada Hafsah binti Umar untuk memberikan lembaran-lembaran Al-Quran yang ada padanya untuk dibukukan.
Khalifah Utsman bin Affan membentuk panitia yang dipimpin oleh Zaid bin Tsabit yang bertugas menyalin dari lembaran-lembaran tadi menjadi sebuah buku. Al-Quran yang telah dibukukan pada saat itu dinamai dengan "Al-Mushhaf", dan oleh panitia saat itu ditulis lima buah Al-Mushhaf. Empat buah di antaranya dikirim ke Mekah, Syria, Basrah, dan Khufah, agar di tempat-tempat itu disalin pula. Satu Al-Mushhaf tetap tinggal di Madinah untuk khalifah Utsman sendiri, itulah yang dikenal dengan "Mushhaf Al Iman"

Kepada siapa sedekah diberikan?
Untuk menjawab pertanyaan itu ada baiknya kita memiliki pengetahuan tentang sedekah. Menurut arti kata sedekah berarti kesungguhan. Sedekah diberikan sukarela dan ikhlas. Dalam Al-Quran sudah disampaikan bahwa orang-orang yang telah diberi rezeki oleh Allah, dianjurkan untuk bersedekah (menafkahkan) sebahagian hartanya itu. Dan kepada siapa sedekah hendaknya diberikan dalam Al-Quran juga telah diuraikan dalam surat Al-Baqarah ayat 215 dan ayat 280, surat An-Nisaa' ayat 8, surat An-Nahl ayat 90 dan surat Al-Israa' ayat 26.

Uraian ayat yang mengatakan tentang orang-orang yang boleh diberi sedekah dalam Al-Quran adalah sebagai berikut:
  1. Dalam surat Al-Baqarah ayat 215 disebutkan mereka itu adalah: ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan.
  2. Dalam surat Al-Baqarah ayat 280 disebutkan mereka itu adalah: orang yang sedang dalam kesukaran (berhutang).
  3. Dalam surat An-Nisaa' ayat 8 disebutkan mereka itu adalah: kerabat, anak yatim dan orang miskin.
  4. Dalam surat An-Nahl ayat 90 disebutkan mereka itu adalah: kaum kerabat.
  5. Dalam surat Al-Israa' ayat 26 disebutkan mereka itu adalah: keluarga-keluarga yang dekat, kepada orang yang miskin dan dan orang yang dalam perjalanan.

Mungkin timbul pertanyaan: Apakah wajar memberikan sedekah kepada ibu-bapak?
Untuk menjawab pertanyaan itu, saya berbalik mengajukan pertanyaan:
"Ketika anda sudah menjadi orang yang berkecukupan, apakah anda kan membiarkan ibu-bapak anda hidup dalam kemiskinan?"
Begitulah cara Islam untuk menjaga kehidupan umatnya. Sebenarnya situasi memberi sedekah kepada ibu-bapak itu sangat jarang terjadi bagi umat Islam yang muslim karena seharusnya apabila seorang sudah mapan tentu tidak akan membiarkan ibu-bapaknya miskin.
Jadi intinya sedekah itu sebaiknya diberikan kepada anak-anak yatim, orang-orang miskin, orang dalam perjalanan, dan orang-orang dalam kesukaran. Sedangkan, ibu-bapak dan kaum kerabat sudah merupakan suatu tanggung jawab.
Lucu jadinya apabila anda bersedekah puluhan juta untuk panti asuhan sementara ibu-bapak anda miskin dan tidak ada yang bisa dimakan di kampung.

Demikian juga memberi sedekah kepada kaum kerabat. Hanya saja mungkin ada kaum kerabat yang tidak mau menerima sedekah dari kerabatnya atau merasa direndahkan padahal dia butuh. Dan itu tergantung cara memberikan, dalam Al-Quran sudah disampaikan juga bahwa ketika memberikan sedekah jangan menyakiti hati yang menerimanya. Bahkan jika memang ingin bersedekah kepadanya lakukanlah secara tersembunyi, bagaimana caranya anda sendiri yang tau. Walaupun dia tidak tau darimana datangnya sedekah (rezeki menurutnya) itu, Allah pasti mengetahui apa yang anda lakukan.

Sedekah bisa dalam bentuk apa saja asalkan ikhlas ketika memberinya. Sedekah tidak hanya berupa uang, barang, makanan, tenaga atau lainnya. Memberi tenggang waktu saja sudah merupakan sebuah sedekah.

Dalam surat Al-Baqarah ayat 280, Allah berfirman yang artinya: Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai ia berkelapangan. Dan menyedekahkannya (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.
Dari ayat ini dapat kita lihat bahwa betapa Islam memberi ajaran kepada umat muslim untuk mau bertenggang rasa kepada sesama yang benar-benar sedang dalam kesulitan. Dalam kehidupan sehari-hari, agama Islam sudah memprediksi bahwa suatu waktu nanti umat nya akan menemui perihal hutang piutang dan segala permasalahan dalam hutang piutang tersebut. Misalnya, ketika saat untuk membayar sudah sampai waktunya, namun orang yang berhutang belum mempunyai harta untuk membayar hutang (benar-benar tidak ada) maka Islam menganjurkan agar mau memberi tenggang waktu pada orang tersebut sampai dia mampu untuk membayar hutangnya. Dan ketika dia memberi kelapangan atau tenggang waktu tersebut, Allah telah memberi balasan pahala kepadanya karena telah bersedekah waktu.



Namun begitu, bagi yang mempunyai hutang jangan pula menjadikan ayat ini menjadi alasan untuk mengharapkan belas kasihan si pemberi hutang agar mau memberi tenggang waktu untuk mengulur pembayaran hutangnya itu.

Bersedekah adalah pemberian yang diberi secara sukarela dan ikhlas, merupakan sebuah perbuatan amal kebaikan dimana setiap amal kebaikan pasti akan mendapat imbalan kebaikan pula. Bagi orang yang suka bersedekah Allah menjamin bahwa mereka akan mendapat balasan atau imbalan dari Allah, hal itu diungkapkan atau disampaikan Allah melalui ayat-ayat Al-Quran sebagai berikut;
  1. Surat Al-Baqarah ayat 254, yang artinya: Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran pinjaman kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.
  2. Surat Al-Baqarah ayat 261, yang artinya: Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.
  3. Surat Al-Baqarah ayat 262, yang artinya: Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka menerima pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran di antara mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

  4. Surat Al-Baqarah ayat 268, yang artinya: Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjadikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.
  5. Surat Al-Baqarah ayat 274, yang artinya: Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran di antara mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
  6. Surat Ar-Ra'd ayat 22, yang artinya: Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepadanya, secara sembunyi dan terang-terangan serta menolak kejahan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik),
  7. Surat Saba' ayat 39, yang artinya: Katakanlah:"Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi (siapa yang dikehendaki-Nya)." Dan barang apa yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.
Dari uraian ayat di atas disampaikan bahwa Allah akan memberikan imbalan atau balasan bagi oran-orang yang bersedekah, imbalan yang diberikan bisa berupa pahala atau ampunan bahkan Allah menggantinya berlipat ganda dari apa yang telah disedekahkan. Pada surat Al-Baqarah ayat 261, Allah menyatakan bahwa Allah akan melipat gandakan (sedekah) sebanyak 700 kali. Dan ditegaskan juga bahwa sedekah itu adalah pemberian yang ikhlas.